KONSULTASI : OSS (08116774642), SIPEKA (081325778089), WHATSAPP PENGADUAN (082110997721)   |    dpmptsp@bantenprov.go.id atau dpmptsp.banten@gmail.com

Investasi Satu Kuadriliun Terlilit Izin

Investasi Satu Kuadriliun Terlilit Izin

Kendati telah dilakukan dengan maksimal, pembenahan ekosistem investasi tak mampu menyerap tumpukan modal yang menunggu lampu hijau ke Tanah Air. Terbaru, pemerintah menemukan potensi investasi senilai Rp1.000 triliun atau Rp1 kuadriliun yang terantuk oleh tebalnya tembok perizinan.n

Data tersebut ditemukan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dengan mengacu pada laporan Tim Investasi Presiden Joko Widodo.

Temuan itu disampaikan oleh Sekjen Kemendari Suhajar Diantoro, saat Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Monitoring Percepatan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2022 dan Pengendalian Inflasi, beberapa waktu lalu.

Dia mengatakan, Tim Investasi Presiden menghitung jumlah penanaman modal di dalam negeri yang tertunda mencapai Rp1.000 triliun, salah satunya disebabkan oleh faktor perizinan.

“Ada sekitar Rp1.000 triliun investasi yang tertunda untuk masuk ke Indonesia disebabkan oleh menunggu diizinkan masuk atau tidak,” katanya, belum lama ini.

Sejalan dengan itu, Suhajar menginstruksikan kepada seluruh pemerintah daerah (pemda) untuk memberikan kemudahan terhadap seluruh proses perizinan investasi.

Tujuannya adalah menciptakan kepastian berusaha sebagai salah satu magnet penanaman modal, menyokong pertumbuhan ekonomi, serta menciptakan efek berganda sehingga meningkatka daya beli masyarakat di tengah ancaman lesatan inflasi.

Fakta ini menandai bahwa perizinan seolah tak pernah luput dari masalah, meskipun pemerintah telah melakukan reformasi birokrasi melalui UU N0. 11/2020 tentang Cipta Kerja, dan redesain proses pengajuan berusaha lewat Online Single Submission (OSS) Risk Based Approach (RBA) alias perizinan dengan berbasis risiko.

Dari sisi perizinan, OSS RBA sejatinya menjadi media yang cukup efektif apabila dilaksanakan dengan penuh sinergisitas dan harmonisasi yang solid, baik antarlembaga dan kementerian (K/L), maupun antara pemerintah pusat dan pemda.

OSS RBA pun mendapat pengakuan dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), dalam laporan berjudul ‘Supporting Regulatory Reforms in Southeast Asia’, yang dirilis bulan lalu.

Pasalnya menurut laporan OECD, sistem ini merampingkan 492 proses perizinan, mengintegrasikan 21 K/L, serta mendelegasikan 325 produk serta layanan perizinan kepada Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Temuan Tim Investasi Kepala Negara itu seolah menjadi tamparan dari pembenahan sistem yang secara efektif dieksekusi pemerintah jauh sebelum UU Cipta Kerja dirilis.

Otoritas penanaman modal pun mengakui, ada banyak kendala yang dihadapi oleh pelaku usaha untuk mengeksekusi penanaman modalnya.

Mulai dari persoalan lahan, banyaknya Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang belum terkoneksi dengan OSS RBA, hingga minimnya Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) di kabupaten/kota.

Terlepas dari adanya temuan investasi yang sulit masuk itu, Kementerian Investasi/BKPM berkomiten untuk terus melakukan pengawalan kepada investor sehingga realisasi penanaman modal cepat tereksekusi.

“Apakah perizinan, apakah kondisi lapangan, itu kami sedang membantu di lapangan,” kata Deputi Bidang Pengembangan Iklim Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM Yuliot.

DUA HAMBATAN

Sejauh ini, ada dua hambatan nyata yang telah terdeteksi dalam kaita optimalisasi OSS RBA, yakni KBLI dan RDTR.

Kementerian Investasi/BKPM mencatat, hingga saat ini ada sebanyak 353 KBLI yang diperebutkan oleh K/L. Akibat dari belum diakomodasinya 353 KBLI ke dalam OSS RBA itu, perizinan yang diajukan oleh pelaku usaha pun tidak bisa diproses dengan cepat, lantaran tidak memiliki rujukan di dalam sistem dalam jaringan (daring) tersebut.

Memang, pemodal masih bisa mengakses izin secara manual, yakni melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Akan tetapi, proses di PTSP memakan waktu lebih lama karena belum terdigitalisasi.

Kemudian, dari target 2.000 RDTR di 514 daerah, masih tersedia 92 RDTR yang telah disusun oleh 78 daerah. Menurut data otoritas penanaman modal yang diperoleh Bisnis, RDTR baru akan tersedia secara penuh pada 26 tahun mendatang, alias pada 2048.

Dengan kata lain, Indonesia masih harus mengidap penyakit investasi akut hingga 26 tahun mendatang. Itu pun akan tercapai dengan catatan target secara tahunan terealisasi, yakni 75 RDTR per tahun dan 50 daerah per tahun.

Sekadar informasi, RDTR adalah dasar dari serangkaian perizinan berusaha atau investasi yang diterapkan oleh pemerintah. Ketentuan ini juga diwajibkan terkoneksi dengan OSS RBA.

Dalam proses perizinan, calon pemodal wajib menyesuaikan rencana investasi dengan RDTR yang diterbitkan pemda untuk mendapatkan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), penggant Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

Sesungguhnya, pelaku usaha memiliki opsi lain untuk melakukan pengajuan izin apabila daerah tidak memiliki RDTR. Caranya adalah memohon kepada pemerintah pusat yang kemudian disesuaikan dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW).

Persoalannya, RTRW bersifat lebih umum dan acap kali tidak sinkron dengan RDTR yang disusun lebih terperinci oleh pemerintah kabupaten/kota. Impaknya, investasi pun tak bisa diproses.

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman, mencatat ada tiga permasalahan inti dari implementasi OSS RBA, yakni aspek regulasi, kelembagaan, serta digitalisasi sistem.

Dari aspek regulasi, aturan yang menjadi dasar implementasi tersebut, yakni PP No. 5/2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, masih belum mengakomodasi seluruh KBLI.

Dari aspek kelembagaan, persoalan muncul karena tidak berjalannya harmonisasi izin antara pemda dengan K/L.

Adapun, masalah digitalisasi disebabkan belum terintegrasinya sistem pemerintah pusat dengan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu intu (DPMPTSP).

“Untuk mengatasinya harus dimulai revisi dari sisi aturan sembari menghilangkan ego sektoral antara K/L, pemerintah pusat, dan pemda,” katanya.
Share :